MEDIAUTAMA.CO – Aksi demonstrasi berujung kerusuhan yang memicu pertikaian antar etnis di Ethiopia merenggut nyawa 67 orang. Kejadian itu menjadi bertentangan karena Perdana Menteri Abiy Ahmed belum lama ini mendapat penghargaan Nobel Perdamaian, karena dianggap berhasil meredam konflik di negaranya dan negara sahabat.
Seperti dilansir AFP, insiden itu terjadi di Ibu Kota Addis Ababa dan Provinsi Oromia. Pemicunya adalah klaim dari seorang aktivis politik, Jawar Mohammad, yang menyatakan dia menjadi target oleh aparat keamanan setempat.
“Jumlah korban meninggal di Oromia mencapai 67 orang,” kata Kepala Kepolisian Oromia, Kefyalew Tefera.
Menurut Tefera, lima korban tewas di antaranya adalah polisi. Akan tetapi, hal itu dibantah aparat setempat.
Mohammad kerap mengkritik Ahmed karena dianggap bersikap seperti diktator, dan siap menjadi penantang pada pemilihan umum yang bakal digelar tahun depan.
Baca Juga : Unjuk Rasa di Irak Kembali Telan Korban Jiwa
Tefera mengklaim kekerasan di Oromia sudah tidak ada lagi. Namun, menurut peneliti lembaga pemantau hak asasi manusia Amnesty International, Fisseha Tekle, dia masih menerima laporan bentrokan.
“Sejumlah orang tewas dibunuh dengan senjata tajam, rumah mereka dibakar. Bahkan masyarakat mulai menggunakan senjata api dan saling menyerang satu sama lain,” kata Fisseha dikutip CNNIndonesia.com, Minggu (27/10/2019).
Menurut laporan yang dia dapat, kerusuhan juga menyebar ke kota Ambo, Dodola, Harar, Bale, Robe dan Adama.
Kementerian pertahanan setempat mengirim tentara ke Oromia untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Padahal, Mohammad adalah salah satu pendukung Ahmed dan sama-sama berlatas etnis Omoro. Dia adalah tokoh yang menggalang dukungan untuk menggelar unjuk rasa dan membuka jalan bagi Ahmed menjadi perdana menteri.
Baca Juga : Telepon Misterius Sebelum Penemuan 39 Mayat di Truk Kontainer
Meski begitu, Mohammad kini balik mengkritik sejumlah kebijakan yang diterapkan Ahmed. Menurut dia gaya kepemimpinan Ahmed menjurus ke arah otoriter.
“Dia (Ahmed) telah menunjukkan tanda-tanda kediktatoran, mencoba mengintimidasi rakyat, bahkan sekutu dekatnya yang membantu dia berkuasa kini menentang kebijakan, posisi dan ideologi yang dia sebarkan. Intimidasi adalah permulaan pemerintah otoriter,” kata Mohammad.
Perselisihan keduanya membuat etnis Oromo juga ikut terbelah. Mohammad menyatakan dia siap menantang Ahmed dalam pemilu mendatang.
“Saya ingin terlibat dalam pemilu mendatang. Saya belum tahu akan menjadi apa, tetapi hanya berharap pengaruh saya di negara ini harus berdampak positif,” kata Mohammad.
(AFP/CNN/MU)