Laporan Internal Sebut PBB Gagal Cegah Krisis Rohingya

  • Bagikan
Ilustrasi lambang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (REUTERS/Mike Segar)

mediautama.news – Sebuah hasil laporan penyelidikan menyebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengalami “kegagalan sistemik” dalam mencegah dan menangani krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar, pada 2017 lalu.

Laporan terbaru PBB memaparkan kegagalan itu ditemukan setelah Sekretaris Jenderal Antonio Guterres memerintahkan peninjauan internal terkait kinerja perwakilan mereka di Myanmar.

Tindakan itu dilakukan setelah pejabat PBB di Myanmar diduga mengabaikan tanda-tanda persekusi yang diterima kaum Rohingya.

Dalam laporannya, PBB mengatakan ketika pihaknya “sulit menetapkan siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan sistemik ini”, ada tanggung jawab bersama “dari semua pihak yang terlibat karena tidak menyampaikan dengan lebih kuat kekhawatiran utama PBB terkait pelanggaran HAM berat” ini.

Sejumlah kritikus PBB menuding koordinator PBB untuk Myanmar, Renata Lok-Dessallien, yang menyebabkan kegagalan PBB dalam merespons krisis Rohingya. Ia disebut menutup mata terhadap tanda-tanda persekusi terhadap Rohingya yang semakin memburuk saat itu demi memprioritaskan kerja sama ekonomi dengan pemerintah Myanmar.

Hingga kini terdapat lebih dari 700 ribu Rohingya yang mengungsi di Bangladesh karena berusaha melarikan diri dari kekerasan dan persekusi yang mereka terima di Myanmar sejak krisis memburuk pada 2017 silam. Gelombang pengungsi itu diduga terjadi sejak militer Myanmar itu meluncurkan operasi pembersihan “teroris”.

Alih-alih menangkap kelompok bersenjata yang kerap menyerang pos keamanan di Rakhine, militer Myanmar disebut malah mengusir hingga membunuh etnis Rohingya secara membabi-buta.

PBB menganggap tragedi kekerasan itu sebagai bentuk “pembersihan etnis”.

Dikutip AFP, dalam laporan sebanyak 36 halaman itu, mantan diplomat Guatemala, Gert Rosenthal, mengecam “dinamika perpecahan dalam sistem PBB.”

Rosenthal menganggap kegagalan PBB dalam menangani isu ini disebabkan karena “tidak adanya strategi yang jelas dan terpadu, serta minimnya analisis terpadu dari lapangan secara sistematis.”

“PBB perlu meningkatkan, membuat sistem, dan berbagi pengumpulan data, informasi, dan analisis peristiwa di lapangan secara real time,” paparnya dalam laporan yang disebar ke seluruh negara anggota PBB itu seperti dikutip CNN Indonesia, Sabtu (22/6/2019).

“Jika ada interpretasi yang beragam datang dari pihak lainnya, maka mereka harus disebarluaskan dan didiskusikan hingga (seluruh pihak dalam PBB) mendapat pengertian yang sama.”

Sebagai contoh, Rosenthal menyebutkan pernyataan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Zeid Ra’ad Al Hussein, yang cukup keras dan konsisten menganggap pelanggaran HAM terjadi di Myanmar menyebabkan “beberapa kegelisahan di antara pejabat PBB lainnya yang lebih mendukung bekerja dengan pendekatan ‘diplomasi senyap’ dalam menangani masalah ini.”

Menanggapi laporan itu, juru bicara Sekjen PBB, Stephane Dujarric, menuturkan Guterres telah menerima rekomendasi Rosenthal dan “berkomitmen menerapkannya sehingga dapat meningkatkan kinerja PBB.” (AFP/CNN)

  • Bagikan