MediaUtama | Medan – Iuran BPJS Kesehatan naik per 1 Januari 2020. Terkait dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, sikap Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) adalah menolak.
Menurut Presiden KSPI yang juga Presiden Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPMI) Said Iqbal, ada beberapa alasan mengapa kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini ditolak.
Pertama, kenaikan ini membuat daya beli masyarakat jatuh. Sebagai contoh, untuk peserta kelas III rencananya naik dari 25 ribu menjadi 42 ribu. Jika dalam satu keluarga terdiri dari suami, istri, dan 3 orang anak (satu keluarga terdiri dari 5 orang) maka dalam sebulan mereka harus membayar 210 ribu.
Bagi warga Jakarta dengan standarnya upah minimum atau penghasilan sebesar 4,2 juta, mungkin tidak memberatkan. Walaupun mereka juga belum tentu setuju dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Tetapi bandingkan dengan kabupaten/kota yang upah minimumnya di kisaran satu juta, mereka pasti akan kesulitan untuk membayar iuran tersebut. Misalnya masyarakat di daerah seperti Ciamis, Pangandaran, Sragen, dan lain-lain.
Bagi daerah yang upah minimumnya di kisaran 1 juta, satu keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga harus mengeluarkan biaya lebih dari 20 persen dari penghasilan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan.
Baca Juga : Tolak Omnibus Law, Buruh Seluruh Indonesia Lakukan Aksi Unjuk Rasa Serentak
Tentu saja hal ini akan sangat memberatkan. Apalagi itu adalah uang yang hilang. Dalam artian mau dipakai atau tidak, uangnya tidak bisa diambil kembali.
Dengan kata lain, kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan membuat daya beli masyarakat jatuh. Apalagi tingkat upah minimum tiap-tiap daerah berbeda.
Kedua, BPJS Kesehatan adalah jaminan kesehatan dengan hukum publik. Ia bukan PT atau BUMN yang bertugas untuk mencari keuntungan.
Dengan kata lain, jika mengalami kerugian, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menutup kerugian tersebut.
Apalagi hak sehat adalah hak rakyat. Sebagai hak rakyat, maka tugas pemerintah adalah memberikan hak tersebut.
Dengan demikian, pemerintah tidak bisa serta-merta menaikkan iuran BPJS Kesehatan tanpa terlebih dahulu menanyakan kepada rakyat.
Ketiga, setiap tahun, iuran BPJS Kesehatan yang dibayarkan buruh selalu ada kenaikan.
Sebagaimana kita ketahui, iuran BPJS Kesehatan dari buruh besarnya 5% dari upah. Dimana 4% dibayarkan pengusaha dan 1% dibayarkan buruh. Ketika setiap tahun upah mengalami kenaikan, setiap tahun iuran BPJS juga mengalami kenaikan. Jadi jangan dipikir setiap tahun tidak ada kenaikan.
Baca Juga : KSPI Menolak Omnibus Law, Inilah 6 Alasannya
Keempat, akan terjadi migrasi kepesertaan dari kelas I ke kelas II atau III. Apalagi jika kemudian berpindah ke asuransi kesehatan swasta dan tidak lagi bersedia membayar iuran BPJS Kesehatan.
Padahal dalam mandatnya, tahun 2019 ini seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali sudah harus menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Kelima, rakyat tidak mampu lagi membayar iuran BPJS Kesehatan. Ketika iuran semakin memberatkan dan akhirnya rakyat tidak mampu membayar iuran BPJS Kesehatan (sebagai contoh di atas satu keluarga bisa membayar hingga 20% dari penghasilan mereka), sama saja kebijakan ini telah memeras rakyat.
Padahal jaminan kesehatan seharusnya hadir adalah tanggung jawab negara sebagaimana amanat undang-undang 1945 pasal 28H.
(MU/REL)