Omnibus Law ‘Cilaka’, Teror Nyata untuk Rakyat dan Lingkungan

Ilustrasi, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (INT)

MediaUtama | Jakarta – Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, sebagian menyingkatnya RUU Cilaka, yang disusun dengan model Omnibus Law, mendapat kritik dari sejumlah pihak. Isi RUU Cilaka ini dianggap tak berpihak kepada buruh, rakyat, hingga lingkungan hidup.

Beberapa ketentuan hukum yang dinilai bermasalah dalam RUU Cilaka di antaranya soal kemudahan bagi perusahaan tambang melanjutkan dan meluaskan wilayah pertambangan. RUU Cilaka dinilai berpotensi ‘melonggarkan’ izin lingkungan dan AMDAL.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah menyatakan aturan sapu jagat yang isinya memberi kemudahan bagi perusahaan tambang ini justru mengancam kehidupan rakyat dan lingkungan di sekitar lokasi pertambangan.

“Jadi dia ada tiga aspek, penambahan pasal, ada pengubahan pasal, dan ada penghapusan pasal, yang berada di dokumen Omnibus Cilaka,” kata Merah seperti dilansir dari CNNIndonesia.com, Minggu (09/02/2020).

Selain itu, Merah menyebut beberapa ketentuan hukum di RUU Cilaka yang mengancam rakyat dan lingkungan antara lain; perusahaan tambang yang terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian, luas wilayah konsesi tambangnya tidak dibatasi.

Baca Juga : 

Dinilai Rugikan Pihak Buruh, APBD-SU Tolak Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja

Buruh di Sumut Unjuk Rasa Tolak Omnibus Law Cipta Tenaga Kerja

Kemudian, perusahaan tambang yang terintegrasi dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian mendapat perizinan yang tak terbatas atau bisa diperpanjang hingga kandungan yang ditambang itu habis.

Selain itu, perusahaan tambang pemegang kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2) yang habis masa berlakunya, langsung mendapat perpanjangan tanpa harus mengembalikan konsesi ke negara dan mengikuti lelang.

Tiga ketentuan hukum yang disampaikan Merah itu juga tertuang di dalam bahan presentasi resmi dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. RUU Cilaka ini sudah dalam proses akhir setelah dibahas di Rapat Terbatas yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo, 15 Januari lalu.

RUU Cilaka juga telah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020. Jokowi sendiri berharap RUU tersebut bisa tuntas dalam 100 hari pembahasan di DPR. Namun, sampai saat ini Jokowi belum menyerahkan surat dan draf RUU Cilaka ke DPR.

Padahal mantan gubernur DKI Jakarta itu menargetkan draf RUU Cilaka diserahkan ke DPR akhir Januari lalu.

Merah mengatakan kelonggaran yang diberikan bagi para perusahaan tambang ini memberi ancaman bagi rakyat, termasuk juga lingkungan di sekitar wilayah konsesi.

Pertama, kata Merah, akan terjadi pengusiran besar-besaran terhadap rakyat yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan. Menurutnya, ini merupakan konsekuensi atas ketentuan tak ada pembatasan luas wilayah untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi.

Masyarakat adat juga terancam ketika RUU Cilaka ini benar-benar berlaku. Merah menyebut banyak masyarakat adat yang tinggal di dekat wilayah pertambangan.

Padahal di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), pertambangan yang statusnya operasi produksi (OP) dibatasi tak boleh sampai 15 ribu hektare.

“Jadi pasti ada pengusiran terhadap rakyat, karena lahan-lahan yang dimiliki rakyat akan ditrabas oleh mereka ya. Izin tak perlu batasan lagi,” ujar Merah.

Kemudian yang kedua, lanjut Merah, ancaman serius bagi rakyat dari RUU Cilaka ini adalah peracunan. Ia mengatakan peracunan ini terjadi karena pertambangan yang terintegrasi dengan hilirisasi itu bisa menambang seumur bahan tambang ada.

Menurutnya, kegiatan tambang yang dilakukan terus menerus sampai tambang habis atau nyaris abadi otomatis akan membuat pencemaran lingkungan tak berhenti.

“Pembuangan limbah kan terus terjadi selamanya. Selama ada bahan tambang itu. Penggunaan bahan kimia beracun akan terus digunakan untuk membantu proses penambangan,” katanya.

Merah mengatakan ancaman ketiga dari aktivitas pertambangan yang diberi karpet merah lewat RUU Cilaka ini membuat pengungsian bencana sosial-ekologis. Menurutnya, bencana alam yang terjadi di Indonesia tak terlepas dari aktivitas tambang.

Merujuk data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terdapat 6 juta pengungsi akibat bencana alam dari 3.500 titik di Indonesia sepanjang 2019. Merah memprediksi jumlah pengungsi akibat bencana alam yang disebabkan aktivitas tambang naik 2 kali lipat pada tahun ini.

“Bisa 12 juta pengungsi sosial ekologis akibat dari banjir, tanda-tandanya sudah ada kan, akibat kegiatan tambang yang tidak terkontrol,” tuturnya.

Kelonggaran AMDAL

Lebih lanjut, Merah turut mengkritik kelonggaran pengajuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam RUU Cilaka tersebut. Menurutnya, pengajuan AMDAL ini hanya diperuntukkan untuk kegiatan yang berisiko tinggi.

Padahal, kata Merah, kegiatan pertambangan semua berisiko tinggi. Tambang berisiko tinggi karena rakus terhadap lahan dan merusak sumber air.

“Mereka buat kategori risiko tinggi, risiko sedang, risiko kecil. Tambang semuanya risiko tinggi, kalau kau hilangi AMDAL dan izin lingkungan bagaimana?” ujarnya.

Merah lantas mengingatkan Jokowi pentingnya menjaga lingkungan hidup. Menurutnya, tak ada investasi ekonomi yang tumbuh di atas lingkungan hidup yang rusak.

“Pak Jokowi harus ingat bahwa tidak ada investiasi yang bisa tumbuh di atas lingkungan hidup yang rusak. Investasi ekonomi apa yang tumbuh kalau lingkungannya rusak,” tuturnya.

Merah menuding demokrasi RI sudah dibajak oleh oligarki, sehingga politik yang dijalankan tak melindungi lagi rakyat dan lingkungan hidup. Menurutnya, politik hanya digunakan untuk melindungi oligarki dan investasi mereka.

 

Sumber : CNNIndonesia.com