MediaUtama | Langkat – Bermula dari kekhawatiran Pemerintah atas menipisnya lahan bakau akibat dari pengelolaan tambak yang dilakukan oleh Masyarakat. Pada tahun 2012 Dinas Kehutanan Kabupaten Langkat menggelar program KBR (Kebun Bakau Rakyat).
Mereka melaksanakan sosialisasi untuk mengajak masyarakat setempat menanam pohon bakau guna reboisasi. Dalam program tersebut Dinas Kehutanan Kabupaten Langkat menyediakan bibit pohon bakau untuk ditanami di sekitar tambak yang masyarakat kelola tersebut.
Tidak hanya sampai disitu, mereka juga merangsang minat masyarakat untuk mau menanam pohon bakau tersebut dengan memberikan uang Rp1,3 juta per hektar melalui program KBR tersebut.
Tak tanggung-tanggung Dinas Kehutanan Kabupaten Langkat juga menjanjikan uang perawatan sebesar Rp1,3 juta per hektar setiap tahunnya secara berkelanjutan.
“Namun, malang tak dapat ditolak mujur pun tak diraih, kiranya dalam kesungguhan hati mengikuti program pemerintah tersebut sampai saat ini sekalipun uang perawatan belum pernah kami terima. Dan yang lebih parah kini Kabupaten Langkat sudah tidak memiliki Dinas Kehutanan lagi,” ungkap Haji Ratal salah satu Tokoh Masyarakat Pembudidaya Udang.
Ia menceritakan pada mulanya di daerah kami ini (Secanggang-red) usaha budidaya udang tiger dikelola oleh 13 Perusahaan, mereka menjalankan bisnisnya dimulai pada tahun 1986 merekalah pionir yang terlebih dahulu menikmati rezeki dari udang tiger tersebut.
Dalam menjalankan usahanya mereka menggunakan sistem kolam intensif yang biasanya sangat gampang dikenali karena penggunaan baling-baling pada kolam pembudidayaan udang.
Sampai akhirnya di tahun 1991 diduga karena udang-udang terserang virus, semua perusahaan budidaya udang tersebut tidak mampu menutupi kebutuhan produksinya, hingga pada akhirnya semua perusahaan yang bergerak dalam pembudidayaan udang tiger tersebut mengalami kebangkrutan.
Mereka tidak mampu lagi menanggulangi biaya produksi dan pergi meninggalkan kolam-kolam yang selama ini telah membesarkan nama mereka dalam dunia bisnis.
Tidak lama setelah kejadian itu tepat pada tahun 1993 bermodalkan ketekunan, masyarakat memberanikan diri membudidayakan udang tiger di areal eks perusahaan pembudidayaan udang tiger tersebut.
Ternyata usaha tidak mengkhianati hasil, kegigihan mereka berbuah keuntungan, namun dikarenakan mereka melakukan pembudidayaan di lahan milik perusahaan yang gulung tikar tersebut.
Tepat tahun 2001 aset tanah dari perusahaan tersebut dibeli oleh Perusahaan Perkebunan Sawit, tentunya masyarakat yang telah menggantungkan nasibnya beberapa tahun dengan membudidayakan udang di areal tersebut, harus pindah dari tanah yang secara sah kini telah dimiliki oleh perusahaan sawit tersebut.
Boleh dibilang, inilah babak baru dari dunia pembudidayaan udang di kawasan Secanggang, mereka berpindah ke lokasi yang sedikit lebih jauh, membuka kolam dan melanjutkan pembudidayaan udang tiger untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sejarah mungkin berulang tepatnya pada tahun 2003 usaha petambak mengalami rugi besar, udang-udang mendadak bermatian, seperti apa yang dialami oleh Perusahaan-perusahaan pembudidaya udang tiger pada tahun 1991.
Masyarakat pembudidaya bangkrut karena semua udang diduga terserang virus yang mematikan. Berbekal pengalaman yang dialami para pembudidaya tersebut, membuat mereka sadar akan lingkungan tahun 2009 masyarakat membuat kolam dengan sistem sirkulasi alamiah yang diberi nama sistem ‘empang paluh’, yaitu suatu sistem pengelolaan budidaya secara alami tanpa menggunakan pelet.
Dan sistem ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat pembudidaya udang.
Alasan Menanam Pohon Bakau
Berdasarkan keyakinan saya akan tiba saatnya orang-orang dikota jenuh dengan segala kegiatan yang padat dan merindukan kegiatan-kegiatan yang bersifat natural.
Mereka akan tertarik untuk melihat bagaimana operasional pengelolaan tambak, memancing, dan melihat secara langsung komoditi-komoditi yang diunggulkan dari pembudidayaan udang, ikan dan kepiting di tambak bahkan menginap.
Hal itulah yang mendorong Saya untuk mengikuti program pemerintah terkait ‘Kebun Bakau Rakyat’ saat itu, tak lain guna meningkatkan kualitas ramah lingkungan pada kolam yang saya miliki.
“Jujur Saya mengeluarkan biaya pribadi hingga 60 juta rupiah sementara perolehan bantuan hanya 13 juta Rupiah untuk keseluruhan lahan tambak saya yang mencapai 10 hektar,” ucapnya.
Lanjut dikatakannya, Itu semua demi mewujudkan cita-cita saya, untuk membuat Lokasi Rekreasi dengan tema Wisata Bahari berikut segala kulinernya yang kiranya dapat menjadi rujukan dalam mengisi liburan akhir pekan.
Namun sejak tahun 2016 pasokan benur/bibit sudah semakin sulit, para pemasok keperluan benur sudah lebih banyak memproduksi benur jenis udang paname. Permintaan atas kebutuhan benur paname sangat tinggi.
Selain disebabkan daya tahan paname yang lebih kuat, tingkat kegagalan panen sangat rendah, harganya juga cenderung lebih murah dipasaran, hal inilah yang mempengaruhi udang paname lebih menjadi favorit masyarakat luas.
Butuh Bantuan Pemerintah dan Swasta
Di kesempatan ini kami juga berharap kiranya Pemerintah baik BUMN maupun pihak swasta untuk dapat memberikan perhatian kepada kami masyarakat pembudidaya udang sistem empang paluh.
“Kedepannya tentunya kami sangat berharap, baik itu bantuan pemerintah maupun CSR perusahaan-perusahaan dapat diarahkan kepada petani-petani tambak seperti kami ini,” ujar Yan Aidil Putra H Ratal yang dipercayakan mengelola seluruh kolam tersebut.
“Banyak hal yang sangat perlu diberikan perhatian, contohnya kasus pendangkalan kolam yang telah tersedimentasi lumpur beberapa tahun. Pembudidaya sangat membutuhkan bantuan alat berat untuk melakukan pengerukan guna mengembalikan kedalaman kolam,” ucapnya.
“Untuk pasokan bibit kiranya pemerintah juga dapat memberikan perhatian serius guna kelanjutan usaha budidaya udang yang merupakan salah satu sumber mata pencaharian masyarakat setempat,” tambah Pemuda yang akrab disapa I’id tersebut.
(M4DON)