MEDIAUTAMA.CO | Jakarta – Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing menilai PKS yang menjadi oposisi di pemerintah Jokowi periode kedua justru menguntungkan partai berlambang bulan sabit dan padi tersebut.
PKS sejauh ini menjadi partai yang tetap berada di luar pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Sikap partai tersebut justru berbeda dengan partai-partai yang berseberangan dengan koalisi Jokowi-Amin di Pemilihan Presiden 2019 lalu. Partai Gerindra, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) justru terlihat berbondong meminta restu Jokowi dan partai di koalisinya agar diberikan jatah menteri.
“Kemungkinan boleh jadi saya melihat PKS akan menjadi partai oposisi. Saya kira kalau PKS jadi partai oposisi, dia justru diuntungkan,” tutur Emrus di Jakarta Selatan, Sabtu (19/10/2019).
Baca Juga : Pelantikan Presiden, Tulisan Besar Jadi Obyek Swafoto Favorit
Hal tersebut dikatakan Emrus ketika tengah menjelaskan tentang perihal kekhawatiran banyak pihak terkait merapatnya mayoritas partai politik ke pihak Jokowi-Amin.
Ketika ditanya lebih lanjut Emrus menjelaskan dengan menjadi satu-satunya oposisi, PKS akan dengan lebih mudah memilah isu yang akan dimainkan untuk mengkritisi kinerja pemerintah.
“Saya katakan bisa menguntungkan kenapa? Itu kan satu partai lebih mudah dikontrol kan. Lebih mudah mereka manage. Mereka bisa mengelola, me-manage isu kan [dalam] memberikan tanggapan dan lain sebagainya karena satu partai,” ujar Emrus dilansir dari CNNIndonesia.com, Minggu (20/10/2019).
Baca Juga : Prabowo Dipastikan Hadiri Pelantikan Jokowi
Kendati demikian Emrus sendiri berpendapat kemungkinan gemuknya koalisi pemerintah mendatang tidak menjadi masalah pada era politik sekarang. Ia mengatakan rakyat sudah cukup jeli menjadi oposisi dalam mengkritisi pemerintahan.
“Sebenarnya kalau kita mau jujur itu konsep checks and balances itu muncul ketika sosial media belum ada. Maka dibutuhkan lah kekuatan oposisi partai. Sekarang dengan sosial media, masyarakat sudah bisa jadi oposisi kok,” jelasnya.
“Artinya boleh enggak semua partai mayoritas bergabung menjadi koalisi pemerintahan kita sekarang? Boleh. Kenapa saya mengatakan begitu? Karena memang fenomena sudah berubah,” tambah Emrus kembali.
Emrus menambahkan bahwa pada kenyataannya dinamika politik tidak seperti yang terlihat secara gamblang. Ketika membahas koalisi dan oposisi dalam pemerintahan, Ia mengatakan status tersebut tidak bisa hanya dilihat dari jatah menteri yang didapat suatu partai.
“Ada koalisi terbuka, ada koalisi tertutup. Terbuka itu mendeklarasikan baru kemudian ada jabatan menteri. Tapi ada koalisi tertutup, jadi memang tidak mendapat jabatan tapi ada kepentingan-kepentingan,” jelas Emrus.
“Jadi tidak serta merta mengatakan kalau di luar koalisi tidak [dapat jatah] menteri otomatis oposisi. Belum tentu. Saya yakin betul akan ada komunikasi politik antara presiden dengan PKS setelah penetapan menteri,” tambahnya.
Di kesempatan yang sama politisi Partai Nasdem Irma Suryani Chaniago mengatakan sistem check and balances pada sebuah pemerintahan dinilai penting. Namun sistem checks and balances ini menurut mantan anggota DPR tersebut tak bisa diaplikasikan pada lembaga legislatif. Pasalnya kepentingan politik di lembaga legislatif seperti DPR masih kental adatnya.
“Makanya kemudian selalu saya sampaikan anggota DPR itu nggak bisa jadi checks and balance. Sampai hari ini belum bisa. Saya mantan anggota DPR RI. Anggota DPR RI itu masih kepanjangan tangan partai kok. Semua keputusan ya keputusan fraksi yang dijalankan,” tuturnya.
Maka dari itu jika ditanya mengenai pendapatnya perihal kemungkinan Gerindra masuk ke dalam koalisi Jokowi-Amin, Irma menuturkan perlunya sistem check and balances di luar lembaga legislatif.
“Kalau ditanya Mbak Irma setuju enggak Gerindra masuk kabinet? Saya bilang harus ada checks and balances di luar,” tutup Irma.
(Sumber : CNNIndonesia.com)